Mengaji: Mengajak, Mengkaji, Agar Jadi

children-read

 

Hai, apa kabar? Sudah Ramadhan (ejaannya gak mengikuti KBBI hihihi, serapannya Ramadan #biarin) hari ke-2. Sudah jelang Dzuhur di sini, namun tak bisa menahan ingin membagi cerita tentang sesuatu yang saya renungkan dari kemarin malam. Ya, Ramadhan identik memang dengan mengaji dan memperbanyak amalan. Ini bulannya Allaah, semoga kita bisa mempersembahkan ibadah terbaik untuk-Nya.

Nah, berkenaan dengan itu plus Air juga sedang liburan saya jadi lebih concern dengan bacaan sholat, kemajuan Iqro, supporting dia agar puasa penuh sampai Maghrib, serta cerita-cerita yang diselipkan hadis Nabi yang dikemas secara ringan untuk mengisi pillow talk kami. Itu saja.

Namun ada yang menarik. Beberapa minggu lalu, saya mengajak Air naik bus kota. Seperti biasa, banyak pedagang yang menjajakan jualannya. Air memutuskan membeli buku bacaan sholat (di KBBI serapannya jadi salat) dan doa-doa seharga Rp10.000. Entah apa maksudnya. Yang saya tahu, dia sudah hapal bacaan sholat sejak TK. Momen yang baru saya sadari ketika Magrib berjamaah dan dia menyenandungkan bacaan iftitah dengan lancar. Hahahha, makasih bu guru udah ajarin Air. Ke mana aja nih ibunya *self-keplak* 😀

Ternyata, Air punya rencana selama Ramadhan ini ingin memperbaiki bacaan sholatnya. Jadi nih ya, dia gak malu-malu sholat tarawih bareng-bareng di mesjid dengan tangan memegang buku. Saat berdiri, ruku, sujud, buku selalu di tangan. Katanya biar bisa ngecek bener gak bacanya. Selain itu, dia ingin sekali bisa naik tingkat Iqro dengan membaca secara intensif didampingi saya. Jadilah setelah sahur dia bersikeras membaca 3 lembar dan 3 lembar lagi setelah tarawih.

Sikap Air yang seperti “kutahu yang kumau” ini membuat pikiran  melayang pada suatu masa ketika saya masih kelas 4 SD. Dulu, saat kelas 1 SD (sekitar tahun 1989, baaah tuaaa yaaaa :P) saya pernah mengaji di mesjid bersama Teteh dan kawan-kawannya. Bukannya jadi jago ngaji malah mogok dateng lagi. Pasalnya, metode belajar Al-Quran saat itu lebih rumit.  Iqro belumlah ada. Apalagi Pak Haji yang mengajar luar biasa galak. Belajar agama rasanya kaya masuk neraka hahahha. *kaya pernah aja sik vei*

Masa hibernasi ngaji itu kemudian menemui akhirnya. Saat kelas 4 SD saya memberanikan diri bersama teman sebangku untuk mengaji di mesjid yang sama. Oh, rupanya Pak Haji sudah tak tampak. Berganti dengan 3 orang pemuda yang didapuk sebagai pengajar. Mereka saya panggil dengan Ka Dicky, Ka Mike, dan Ka Alex. Ketiganya adalah mahasiswa ITB. Ini yang bikin saya kagum. Setelah kuliah saya menyadari bahwa mereka hebat bisa meluangkan waktu di sore hari demi untuk mengajar anak piyik-piyik bandel ini. Padahal saya sendiri ketika kuliah baru sampai asrama/rumah pada jam 9 malam.

Kelas dibagi menjadi 3, yakni kelas sore kecil dan kelas sore besar, plus kelas besar malam. Kecil besar dikategorisasi dengan umur. Di atas kelas 6 SD sudah masuk kelas besar. Materinya pun lebih sulit. Perbedaan sore dan malam hanya merupakan fasilitasi bagi yang sekolah pagi dan siang. Wah, saya senang sekali ketika mulai masuk kelas sore kecil. Ka Dicky adalah guru pertama saya. Ia yang membuat pertandingan seru ‘tak tertulis’ antara saya-Ari Rahayu-Ricky (teman sepengajian) agar cepet-cepetan tamatin Iqro dan lanjut ke Al-quran.

Hal seru lainnya adalah ketika Ka Mike dan Ka Alex bertandang ke kelas kami untuk cerita kisah Nabi ataupun dongeng bermuatan aqidah dengan gaya khasnya yang rikuh namun lucu. Tak jarang ia menggambarkan ilustrasi di whiteboard. Bukannya makin jelas, malah makin absurd dengan kemampuan menggambarnya. Hahahhaha.

Nah, tiap Jum’at kelas sore kecil dan besar digabung. Pelajaran hari itu cuman satu: praktik sholat. Kami mengangkat imam dan berpura-pura juga jadi makmum. Mengucapkan bacaan sholat keras-keras. Ya, sambil kadang sikut-sikutan atau injek-injekan kaki yang berakhir dipelototin. Saya yang awalnya nol dalam bacaan sholat lama-lama jadi hapal karena mendengarkan dan sok-sokan melafalkan. Metode ini emang efektif ya.

Oiya, kami diberi satu kertas karton seukuran notes yang merupakan daftar kemampuan yang jika sudah dikuasi diberi tanda tangan oleh guru. Ada hapalan surat, jejak bacaan Iqro tiap harinya, dan lainnya. Dengan ini kami berasa tergerak untuk melebihi teman-teman. Berpacu dalam prestasi ini emang sangat menyenangkan.

Pengajian nyaris kami ikuti tiap sore. Dan hal yang paling asyik adalah tiap Minggu pagi, semua kelas berbondong-bondong ke Lapangan Sriwijaya Cimahi untuk bermain kasti. Diawali dengan berkumpul di beranda mesjid. Didampingi ketiga guru ngaji itu membuat pertandingan makin seru. Kami bahkan baru sampai rumah jam 11 siang. Seru!

Mesjid adalah rumah kedua saya. Apalagi kalau bulan Ramadan seperti sekarang. Sehabis sahur saya lari terbirit-birit ke mesjid untuk Shubuh berjamaah. Mendengar ceramah. Mengaji. Dan bermain sampai jam 10 jika sekolah siang. Dan setelah berbuka saya sudah ready di mesjid untuk Isya dan Tarawih.

Hal yang tak pernah saya lupakan juga adalah semangat saya mengaji ternyata menulari teman-teman. Percaya atau tidak, gaung pengajian asyiik di Mesjid Hikatul Wutsqo ini bahkan merambahi desa sebelah. Dan sontak jumlah murid menjadi sangat banyak. Sekiranya penjaringan murid pengajian yang saya lakukan ini setara dengan MLM, saya sudah dapat tiket pelesir dengan kapal pesiar hahahha.

Geliat pengajian ini membuat mesjid kami menjadi punya nama di perlombaan tingkat kota administratif (saat itu). Saya sendiri langganan ikut lomba mewarnai, puisi, tilawatul quran, dan sebagainya. Modalnya satu: kepercayaan guru ngaji dan teman-teman. Gak percaya juga kalo saya pernah jadi perwakilan Cimahi untuk lomba membuat kaligrafi di Mesjid IKIP (sekarang UPI) Bandung. Itu lomba ngasih infonya lomba mewarnai, taunya menggambar kaligrafi. Bah. Tapi PD aja lah, dan lumayan piala juara 2 bersanding di lemari mesjid kami.

Saya sendiri gak tahu kabarnya ketiga guru ini. Terakhir yang saya tahu Ka Alex sempat dekat dengan Teteh saya hahhaha. Tapi tetehnya nolah *halah jadi gosip*. Tapi di mana pun Ka Dicky, Ka Mike, dan Ka Alex ini berada semoga rahmat Allaah menyertai. Dan kebaikan mengajari saya mengaji dan menyuguhkan belajar Islam saat saya kecil dengan menyenangkan menjadi berkah yang tak berkesudahan. Aamiin…

Mengaji bukan hanya agar bisa baca Al-quran…tapi juga mengajak yang lainnya, mengkaji dengan hati, dan menjadi sebaik-baiknya manusia. Itu pesan yang saya taruh dalam-dalam.

Sudah azan Dzuhur, saya pamit dulu 🙂

 

 

M.A.A.F

i-am-sorry-forgive-me-ideaYa, dalam hal ini saya mainstream. Saya ingin ikut-ikutan memohonkan maaf. Anggap saja momen jelang Ramadhan membuat banyak lebih hati terbuka untuk menggelontorkan ampunan bagi siapa saja yang memintanya. Dan saya mau berada di dalamnya. Saya ingin meminta maaf.

Untuk setiap kata yang keliru terucap, kalimat yang berlebihan untuk disimak, ucapan yang kasar, dusta, serta  sinis.

Untuk setiap janji yang diingkari, utang yang belum terlunasi, harapan yang tak saya penuhi, kesepakatan yang lalai dijalani, serta rencana-rencana yang tak teguh saya wujudkan.

Untuk setiap hati yang mungkin pernah saya sakiti, abaikan, sudutkan, khianati, rendahkan, dan sikap yang tak menyenangkan lainnya.

Untuk setiap perilaku saya yang kurang santun, tergesa-gesa, keliru, mengedepankan ego, dan tak berkenan lainnya.

Untuk setiap sikap saya yang mendekatkan pada keburukan, berprasangka buruk, lalai dari tanggung jawab, serta tak layak dicontoh.

Dari lubuk hati yang paling dalam, dengan menundukkan kepala dan hati, saya memohonkan maafnya untuk itu semua, ya. Bagi semua orangtua, mertua, keluarga, sahabat, rekan, dan siapa pun yang pernah merasakan hal-hal di atas, semoga berkenan memberikan maafnya. Semoga kebaikan memaafkan menjadi berkah untuk kalian semua berserta keluarga.

Seperti kata Jon Krakauer “When you forgive, you love. And when you love, God’s light shines upon you.”

Ya, semoga maaf yang tulus diberikan mampu membuka pintu ampunan untuk kita semua dari yang Maha Kasih dan Sayang.

Aamiin…

With love,

V